Minggu, 17 Februari 2013

Wreck-it Ralph

Film animasi ketiga yang akan saya bahas di blog ini adalah Wreck-it Ralph. Sejak awal saya tahu mengenai Wreck-it Ralph, saya langsung tambahkan film ini ke dalam wishlist saya. Siapa yang tidak suka film animasi yang bercerita tentang karakter jahat di sebuah game yang ingin berubah menjadi karakter baik? Yang pasti, saya suka.

Seperti yang saya bayangkan, Wreck-it Ralph menceritakan suatu dunia tersendiri yang berisi karakter-karakter game dengan balada kehidupan mereka masing-masing. Dunia ini ada di balik sebuah pusat game seperti Time Zone atau, untuk mereka yang [uhuk] lebih berumur [uhuk], tempat main ding-dong. Bayangkan semua karakter game di pusat game itu berkumpul, bercengkerama, bergaul, dan melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan sepulang kerja; dimulai saat pusat game itu tutup. It's like a combination of Toy Story 3 and Monsters, Inc. Seru? Buat saya, seru dan nostalgic.

Paling tidak perasaan seperti itu yang saya rasakan di awal film ini. Seiring waktu, cerita pun mulai fokus pada Ralph, karakter jahat di game Fix-it Felix Jr., yang bertekad untuk menjadi karakter baik. Ceritanya pun bergulir dengan pola yang cukup mudah ditebak. Awalnya diisi dengan cerita yang ringan; Ralph seolah-olah bisa segera mendapatkan impiannya. Kemudian saat segala sesuatu berjalan mulus bagi Ralph, masalah pun mulai bermunculan; satu demi satu. But I'll spare you the details.

Di dalam petualangannya itulah Ralph menemukan banyak hal baru; termasuk bertemu dengan gadis cilik imut yang nyolot bin nyebelin bernama Vanellope von Something. Seperti yang bisa kita duga, pertemuan dengan Vanellope ini merupakan awal perubahan sikap Ralph. Ralph yang tadinya begitu bersemangat (baca: memaksa) untuk diakui sebagai karakter baik, perlahan mulai melunak dan menyadari ada yang lebih penting daripada menjadi karakter baik di dalam sebuah game, yaitu berusaha menerima dirinya apa adanya.

Moral value di film ini memang cukup dalam. Bisa dibayangkan betapa mendalamnya kesan yang diberikan Ralph saat dia akhirnya bisa menegaskan pada dirinya bahwa "I am bad, and that's good.... I will never be good, and that's not bad.... There's no one I'd rather be than me." saat dia mengorbankan diri dengan meluncur bebas dari langit ke sebuah "gunung berapi" demi menyelamatkan dunia game itu dari kehancuran. Di balik itu pun masih ada nilai-nilai positif  lainnya seperti efek buruk rasa iri dan keegoisan, pentingnya bergerak meninggalkan masa lalu yang kelam, bagaimana menghargai orang lain terlepas dari apa pun "profesi" orang itu, dan berbagai pesan moral lainnya. Walaupun begitu, film ini masih tetap seru untuk dinikmati apa adanya (baca: tanpa perlu memikirkan pesan moral apa pun).

PS:
Satu-satunya hal yang saya sayangkan dari film ini adalah kemunculan karakter-karakter game lain seperti Sonic the Hedgehog atau Ryu (Street Fighter) hanya sekilas dan tidak mempengaruhi plot sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.