Senin, 29 April 2013

Bedevilled

Bok-nam adalah seorang wanita yang diperlakukan dengan kasar, buruk, dan tidak adil oleh suami dan keluarga besarnya. Dia pun berusaha untuk melepaskan diri dari situasi buruk yang dihadapinya. Berbagai cara dia lakukan untuk keluar dari neraka itu. Dia meminta tolong kepada setiap orang yang berpeluang membantunya, mulai dari teman baiknya hingga seorang pelacur yang tidak terlalu dia kenal. Sayangnya tidak ada satu pun usahanya yang membuahkan hasil. Sampai suatu saat terjadi insiden yang menyebabkan anak satu-satunya meninggal dunia. It's payback time!

Bedevilled adalah film menegangkan yang menceritakan aksi balas dendam Bok-nam. Setelah terus-menerus menerima perlakuan buruk dari suami dan keluarga suaminya, Bok-nam akhirnya kehilangan akal sehatnya setelah satu-satunya alasan dia untuk tetap hidup, yaitu anak perempuannya, mati. Akhirnya dia memutuskan bahwa semua orang yang dianggapnya bersalah atas kematian anaknya pun harus mati di tangannya; termasuk teman baiknya sendiri.

Aksi balas dendam Bok-nam begitu menegangkan untuk diikuti. Yang membuatnya "menarik" adalah karena Bok-nam adalah tipe ibu rumah tangga yang hidup sederhana. Aksi Bok-nam tidak melibatkan hal-hal canggih seperti yang terlihat di film-film seperti I Saw the Devil. Aksi balas dendam wanita ini lebih sederhana dan pada akhirnya terasa lebih brutal, misalnya seperti menebas leher menggunakan celurit. Beberapa aksinya bahkan terlihat begitu vulgar dan sangat mungkin menyebabkan rasa mual di perut para penonton.

Pemilihan lokasi pengambilan film pun memiliki andil yang kuat untuk meningkatkan ketegangan saat menonton film ini. Lokasi yang dipilih merupakan sebuah pulau terpencil seperti halnya dalam film Battle Royale, sehingga pilihan bagi Bok-nam hanya membunuh atau dibunuh. Di sepanjang film pun kita dibuat menunggu apakah Bok-nam akan berhasil membabat habis keluarga suaminya atau justru Bok-nam yang akan dibunuh mereka?

Film ini memang brutal dan menegangkan, tapi di balik itu tetap terselip nilai moral yang kuat. Siapa pun yang menulis cerita film Bedevilled ini sepertinya ingin mengingatkan kepada kita tentang keberanian dan kepedulian kita untuk mengulurkan tangan dan membantu orang lain. Film ini seolah-olah ingin menyindir kita dengan rangkaian "seandainya": seandainya suami Bok-nam berlaku lebih baik, seandainya teman baik Bok-nam mau menolongnya, seandainya Bok-nam bertemu dengan orang baik di dunia ini, seandainya.... Bok-nam merupakan stereotip wanita baik hati yang berubah menjadi setan pembunuh karena tidak mendapatkan pertolongan dari orang-orang di sekitarnya. Nilai moral ini yang perlu kita sadari bersama karena bukan tidak mungkin kita pun sudah turut andil membuat seseorang kehilangan hati nuraninya.

Jumat, 19 April 2013

The Sessions

Terinspirasi dari sebuah esai berjudul On Seeing A Sex Surrogate, hadirlah sebuah film yang berjudul The Sessions. Sama seperti isi artikel tersebut, film The Sessions ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang penderita penyakit Polio yang ingin mencoba sesuatu yang tidak pernah (berani) dilakukannya selama puluhan tahun hidupnya. Mark, tokoh utama yang menderita penyakit Polio itu, akhirnya memutuskan untuk mencoba melakukan hubungan seks.

Mark, pria penderita penyakit Polio yang hanya bisa terbaring tak berdaya di tempat tidurnya, akhirnya memberanikan diri untuk mencari jalan agar dia bisa berhubungan seks dengan seorang wanita. Dia sadar bahwa kondisi cacatnya akan menghalangi tercapainya keinginan dia. Bukan hanya karena dia tidak bisa bergerak, tapi juga karena besarnya kemungkinan tidak ada satu wanita pun yang mau berhubungan seks dengan dirinya. Dengan bantuan seorang sex surrogate bernama Cheryl, Mark akhirnya berani melangkah maju untuk melepas "keperawanan"-nya.

Tema yang diangkat di dalam film ini tentu saja menarik buat saya. Tidak pernah dalam hidup saya, saya membayangkan ada orang yang mau dibayar untuk melakukan hubungan seks dengan orang tak dikenal, kecuali orang itu adalah seorang pelacur. Saya sempat bertanya-tanya tentang dilema yang dihadapi Cheryl yang bekerja sebagai sex surrogate saat menonton film ini karena dilema ini juga ikut diangkat lewat alur cerita film ini. Hanya saja saya memilih menerima "fakta" bahwa sex surrogate memang sebuah profesi yang legal agar saya dapat lebih menikmati jalan ceritanya.

Terlepas dari itu, fokus utama film ini tetap saja ada pada perjalanan hidup Mark untuk menjadi "lelaki sejati". Dari awal film ini, kita dapat melihat Mark yang berjuang mengalahkan rasa takut yang mengendap di hatinya. Mark harus bisa mengalahkan rasa bersalah yang kerap timbul di hatinya bahkan saat dia sekedar memikirkan untuk bisa berhubungan seks. Mark pun harus bisa menampik semua rasa takut bahwa dirinya akan ditolak oleh para wanita karena tubuhnya yang cacat. Mark harus bisa melewati hambatan-hambatan psikologis tersebut untuk bisa melakukan hubungan seks. Tentu saja semua itu tidak lepas dari peran Cheryl yang mau menerima Mark apa adanya sehingga Mark memiliki rasa percaya diri yang cukup untuk mengabaikan kegagalannya dan terus mencoba melakukan hubungan seks bersama Cheryl. Perjalanan Mark bersama Cheryl ini yang membuat cerita dalam film The Sessions ini menarik untuk diikuti hingga akhir.

Lebih dari itu, film ini pun menampilkan konflik-konflik "sampingan" yang menambah gereget saya untuk menonton, misalnya konflik batin seorang pendeta yang harus memilih antara mendukung Mark atau mempertahankan larangan seks di luar pernikahan. Selain itu diangkat juga masalah keluarga antara Cheryl dan suaminya saat suaminya mulai merasa adanya hubungan istimewa antara Cheryl dan Mark. Semua itu disajikan lewat cerita yang mengundang tawa dan haru. Pada akhirnya sulit bagi saya untuk membantah bahwa The Sessions adalah film istimewa yang penuh pelajaran hidup dan mampu meninggalkan kesan yang mendalam.

Kamis, 18 April 2013

Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives

Pertama kali saya mendengar tentang Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives adalah dari kawan saya, +Pratama Suprayogi. Dari informasi yang saya terima, sutradara film ini adalah penerima penghargaan Palme d'Or pada tahun 2010. Dengan penghargaan sekelas itu, wajar saja kalau orang awam seperti saya berpikir bahwa ada sesuatu yang unik dalam film ini. Pertanyaan besarnya adalah "apa?"

Saya akui memang ada banyak hal menarik dalam film pemenang Palme d'Or ini. Mulai dari kehadiran hantu istri Boonmee yang sudah lama meninggal, anak Boonmee yang tiba-tiba datang kembali dalam wujud menyerupai hewan setelah bertahun-tahun menghilang, dan kenyataan bahwa semua orang yang melihat dua makhluk tersebut dengan begitu mudah menerima kehadiran mereka tanpa basa-basi, semua itu adalah momen-momen mencengangkan yang membuat saya tertarik dengan kelanjutan ceritanya. Suasana mistik memang terasa begitu kental di sepanjang film ini. Ditambah lagi dengan lokasi hutan dan perkampungan, menonton film ini memberikan pengalaman yang begitu akrab bagaikan menonton film Indonesia.

Sayangnya kecepatan film ini benar-benar lambat. Awal ceritanya dimulai dengan lambat, di tengah cerita masih terasa lambat, tapi untungnya di akhir cerita... tetap lambat. Seolah-olah penulis cerita atau sutradara di film ini ingin menikmati setiap detik yang berlalu di dalam film ini. Entah apa tujuannya. Lambatnya pergerakan cerita di dalam film ini sukses membuat saya beberapa kali termenung dan kehilangan fokus saat menonton film ini.

Bukan hanya masalah kecepatan yang membuat saya bosan. Yang membuat saya kehilangan minat saya menonton Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives adalah ceritanya itu sendiri. Cerita di dalam film ini terlalu abstrak bagi saya; benar-benar abstrak. Walaupun secara garis besar saya menganggap tema di film ini menarik, saya lebih sering merasa bingung mengikuti jalan cerita dalam film ini. Sulit bagi saya untuk bisa memahami apa yang tersirat dalam film ini.

Kelihatannya film ini memang bukan sebuah film yang dapat dinikmati oleh kebanyakan orang. Sepertinya film ini lebih mudah dinikmati oleh orang-orang yang memiliki cita rasa artistik yang tinggi; bukan orang awam seperti saya. Alasan saya tetap menonton habis film ini hanya sebatas tuntutan profesi saya sebagai seorang reviewer amatir. Sementara sebagai seorang penggemar film, rasanya saya tidak akan memasukan film ini ke dalam daftar rekomendasi saya.

Rabu, 17 April 2013

The Cabin in the Woods

Seharusnya saya bisa menduga bahwa film The Cabin in the Woods ini bukan film horor biasa saat ada kata "comedy" dalam salah satu deskripsi yang saya baca. Dengan begitu saya tidak perlu memaksakan diri untuk menontonnya. Untungnya cerita di film ini tidak mengecewakan. Setelah selesai menonton, saya berani mengatakan bahwa film ini adalah film unik yang memang menarik untuk ditonton. Film ini menyuguhkan plot yang sedikit berbeda dibandingkan film-film horor Hollywood yang pernah saya tonton. Cantik!

Setelah saya membaca ulasan lain tentang film ini, saya semakin yakin kalau film ini layak diberikan apresiasi yang besar karena berhasil menyajikan alur yang unik di balik cerita horor yang terkesan gitu-gitu doank. Walaupun film ini melibatkan sekelompok anak remaja dengan karakter klise yang sedang berlibur ke daerah terpencil (yang juga klise), cerita dalam film ini berhasil mendobrak semua klise itu lewat konspirasi skala internasional (yang tidak mengharuskan kita berpikir keras tentunya). Konspirasi? Ya, konspirasi. Silakan tonton sendiri.

Yang saya sesalkan dalam film ini adalah pilihan monster utamanya. Di balik plotnya yang unik, the Cabin in the Woods seharusnya memiliki pilihan tanpa batas untuk urusan monster. Entah apa alasannya pilihan mereka justru jatuh pada monster yang paling gak banget, yaitu zombie. Hal ini memang subjektif. Saya pribadi sudah lama menjauh dari film dengan tema zombie karena saya merasa karakter zombie ini sudah terlalu sering dieksploitasi. Seharusnya kita mengasihani para zombie itu.

Kekecewaan kedua adalah "konspirasi skala internasional" yang terkesan dipaksakan untuk muncul. Kalau memang ingin memunculkan negara-negara selain Amerika di dalam sebuah film, seharusnya mereka bisa memberikan lebih banyak waktu dan "peran" bagi negara-negara lain itu. Kalau memang durasinya tidak memungkinkan, kenapa harus membawa Jepang atau negara lain ke dalam cerita? It's pretty pointless. Itu pendapat saya.

Walaupun begitu, rasa kecewa yang muncul tidak serta-merta membuat film ini jelek di mata saya. Saya akan tetap akui bahwa uniknya plot di film ini memiliki daya jual yang tinggi. Bila kita ingin menonton film horor dengan plot yang agak out-of-the-box, maka The Cabin in the Woods adalah pilihan yang baik untuk menghabiskan waktu senggang kita.