Senin, 14 Oktober 2013

World War Z

Tidak banyak film bertema zombie yang pernah saya tonton karena saya merasa film-film seperti ini sudah terlalu repetitif. Yang diceritakan dalam sebuah film tentang zombie ini biasanya tentang sekelompok orang yang berusaha melarikan diri dari kejaran zombie. Inti dari film-film seperti ini pada akhirnya hanya masalah bertahan hidup. Walaupun begitu, masih ada satu hal yang bisa membuat saya tertarik untuk menonton film bertema zombie, yaitu wabah. Faktor "wabah" ini yang membuat film 28 Days Later dan 28 Weeks Later memberikan kesan yang mendalam pada diri saya.

Kemudian World War Z pun hadir. Umat manusia lagi-lagi di ambang kebinasaan akibat sebuah wabah penyakit sejenis rabies yang membunuh para manusia dan merubah korbannya menjadi binatang buas. It's happening and it's happening in every corner of the world. Tanpa banyak basa-basi, film ini langsung mengajak penontonnya ke jalur cepat seiring dengan runtuhnya kota-kota besar di seluruh dunia akibat serangan zombie.

Seluruh dunia? Ya, seluruh dunia. Seiring waktu, kita diajak berkeliling bersama Gerry Lane untuk "mengunjungi" kota-kota di berbagai negara yang sudah mati karena serangan zombie. Gerry harus pindah dari satu kota ke kota yang lain di dunia ini untuk mencari tahu penyebab wabah ini dan menemukan cara untuk mengatasinya. Harapan untuk menemukan jawaban senantiasa datang dan pergi seiring berpindahnya Gerry dari satu kota ke kota yang lain. Hal ini yang membuat cerita di World War Z menjadi menarik.

Selain itu, World War Z juga punya sisi keaslian yang tidak kalah menariknya. Sisi keaslian ini ada pada solusi yang ditemukan oleh Gerry Lane. Apa yang Gerry temukan? Saya serahkan pada Anda untuk mengetahuinya sendiri. Satu hal yang pasti, Gerry bukan menemukan sesuatu yang dapat langsung mengakhiri wabah zombie ini. Gerry justru menemukan sesuatu yang dapat mempersiapkan umat manusia untuk memerangi para zombie. Seperti halnya yang Gerry katakan setelah penemuan itu: "Our war has just begun."

Menarik, bukan? Buat saya film ini menarik. World War Z tidak hanya menyuguhkan aksi yang seru dan menegangkan, tapi juga memiliki cerita yang menarik untuk diikuti. Film ini berhasil menghidupkan kembali minat saya untuk menonton film-film bertema zombie, walaupun kemungkinan besar film bertema zombie yang akan saya tonton berikutnya hanyalah sequel dari film ini.

Kamis, 15 Agustus 2013

Hitchcock

Saya memang penggemar Alfred Hitchcock, terutama film-film buatannya. Plot di dalam film-film Hitchcock itu senantiasa menarik dan membuat penasaran hingga akhir film. Bagi saya, film-film Hitchcock memang bukan film biasa. Jadi saat saya tahu ada sebuah film yang menceritakan sedikit tentang kehidupannya, film ini langsung masuk top 10 tontonan pilihan saya. Saya benar-benar penasaran ingin melihat bagaimana legenda perfilman Amerika ini membuat film-filmnya.

Sayangnya cerita di dalam film Hitchcock ini justru lebih banyak menyentuh kehidupan pribadinya. Ceritanya memang diambil saat Hitch (panggilan akrab Alfred Hitchcock) sedang membuat film Psycho, tapi sisi pembuatan filmnya lebih cenderung sebagai pelengkap. Proses pembuatan film Psycho justru memperlihatkan bagaimana film Psycho ini mempengaruhi hidup Hitch, baik secara fisik maupun mental. Then again, it's a biography. So this is actually no surprise.

Cerita di dalam film Hitchcock menampilkan bagaimana sosok seorang Hitch menjalani hidupnya, baik sebagai seorang suami, seorang sutradara, seorang pecinta wanita-wanita pirang, maupun seorang peeping tom. Titik beratnya memang ada pada peran Hitch sebagai seorang suami karena kehadiran Alma Reville (istri Hitch) membuat film ini banyak bercerita tentang kehidupan rumah tangga Hitch. Tidak hanya sebagai istri, pengorbanan dan kerja keras Alma untuk membantu Hitch menyelesaikan Psycho pun memperlihatkan banyak hal tentang naik-turunnya hubungan antara Hitch dan Alma.

Pada akhirnya film Hitchcock ini semata-mata adalah film drama. Plotnya pun pada dasarnya hanya bercerita mengenai kehidupan pribadi seorang sutradara dengan penekanan pada hubungan si Sutradara dengan istrinya. Yang membuat film ini istimewa adalah kehadiran Alfred Hitchcock sebagai si Sutradara dan bagaimana dia membuat dobrakan dalam dunia perfilman Hollywood lewat film Psycho.

Hubungan antara Hitch dan Alma memang cukup menarik untuk diikuti, tapi saya lebih banyak terinspirasi oleh determinasi Hitch untuk terus maju membuat Psycho walaupun tidak ada satu studio film pun yang mendukungnya. Justru kehadiran Psycho ini yang membuat kehidupan rumah tangga Hitch dan Alma menjadi menarik dan memberikan inspirasi tersendiri. Semua itu serta berbagai trivia lainnya berhasil membuat film ini menjadi film drama yang tidak membosankan dan layak untuk ditonton.

Rabu, 05 Juni 2013

Fast & Furious 6

Sudah lama sekali saya tidak mengikuti franchise Fast & Furious. Saya sendiri memang tidak terlalu berminat mengikuti franchise ini karena saya beranggapan bahwa Fast & Furious itu aksinya hanya terbatas pada balapan saja. Jadi sejak film kedua (2 Fast 2 Furious), saya tidak lagi mengikuti kelanjutan ceritanya. Saat saya mendapat kesempatan untuk menonton Fast & Furious 6, harapan saya pun tidak terlalu tinggi. Saya memasuki ruangan bioskop dengan pikiran bahwa saya akan menghibur diri saya dengan aksi kejar-kejaran kecepatan tinggi dengan mobil-mobil yang membuat saya ngiler. Ternyata yang disuguhkan dalam film ini jauh di luar dugaan saya. Mulai dari kendaraan, aksi, sampai special effect-nya benar-benar top. Tidak pernah terbayang dalam benak saya bahwa saya akan melihat adegan tank dan pesawat militer di dalam film ini. Mengagumkan!

Terlepas dari itu, alasan utama saya tertarik menonton Fast & Furious 6 adalah keberadaan aktor Indonesia yang pernah memimpin serbuan polisi ke markas besar penjahat di The Raid: Redemption, yaitu Joe Taslim. Sebuah kebanggaan tersendiri bukan melihat orang Indonesia beradu akting di dalam franchise kelas dunia, bukan? Saya justru ingin melihat sendiri seberapa besar peran Joe Taslim di dalam film ini.

Ada 2 (dua) bagian yang menurut saya membuat peran Joe Taslim di film ini terlihat besar. Pertama, aksi Jah (karakter yang diperankan Joe) saat dikeroyok Roman dan Han. Terlihat jelas di dalam adegan itu bahwa Jah memang jauh lebih jago dari Roman dan Han. Kedua, dalam sebuah adegan kejar-kejaran (menggunakan mobil tentunya), Jah menggunakan Bahasa Indonesia saat dia meminta bantuan rekannya, Vegh, untuk meloloskan diri dari pengejarnya. Jadi, walaupun Jah tetap terlihat sebagai karakter yang replacable, kehadiran Jah memberi warna tersendiri di dalam film tersebut. At the very least, dengan berperan sebagai Jah, Joe Taslim sudah membuktikan bahwa aktor laga Indonesia sudah layak tampil dalam film-film kelas dunia.

Selain Joe Taslim dan berbagai aksi spektakuler yang disajikan dalam Fast & Furious 6, faktor lain yang membuat saya mengacungi jempol adalah faktor multi-etnis. Jagoan-jagoan di film ini tidak lagi terbatas pada orang Amerika saja. Sebenarnya elemen multi-etnis ini sudah terlihat di beberapa film dan serial sejak beberapa tahun yang lalu, tapi tetap saja patut diacungi jempol bahwa franchise terkenal ini tetap menampilkan karakter dari berbagai etnis, baik sebagai protagonis maupun antagonis. Yang pasti, kehadiran orang-orang non-Amerika di dalam sebuah film Hollywood merupakan faktor yang menarik bagi saya. Hal ini jelas menambah daya tarik sebuah film dengan plot, aksi, dan special effect yang dari awalnya memang sudah "terlanjur" menarik.

Lalu bagaimana dengan kekurangan film ini? Hard to say. Saya hanya seorang penggemar film biasa; bukan seorang pengkritik film. Yang bisa saya katakan, film ini ini adalah film yang menegangkan dan sangat jauh dari kata "membosankan". Bahkan rasa kantuk yang melanda saya bisa hilang begitu saja selama saya menonton film ini. Truly worth watching... dan adegan penutupnya berhasil membuat saya penasaran dengan sequel berikutnya. Tidak banyak hal lain yang bisa saya ceritakan tentang film ini. Jadi, selamat menonton!

Senin, 03 Juni 2013

Escape from Planet Earth

Di balik kesan science fiction yang ditawarkan, film Escape from Planet Earth ini mengangkat tema yang cukup akrab, yaitu tentang kehidupan 2 (dua) kakak beradik bernama Gary dan Scorch. Gary dan Scorch bekerja pada sebuah lembaga antariksa di Planet Baab. Mereka selalu bekerja dalam 1 tim yang sama. Sebenarnya, "tim" yang dimaksud di sini memang terdiri dari Gary dan Scorch saja. Sampai akhirnya Scorch harus menjalani sebuah misi yang tidak disetujui oleh Gary. Akhirnya Scorch, untuk pertama kalinya, bertugas tanpa Gary. Sayangnya di misi ini Scorch tertangkap dan hanya Gary yang bisa menyelamatkan Scorch.

Kemudian jalan cerita di dalam film ini pun berlanjut sebagaimana tebakan mayoritas penggemar film keluarga seperti saya. Jalan ceritanya tidak rumit dan sangat mudah ditebak. Adegan demi adegan berganti, tapi tetap saja tidak tampak satu pun unsur kejutan di sepanjang film ini. Bahkan bisa saya katakan kalau jalan cerita film ini terasa hambar.

Untungnya film Escape from Planet Earth ini kaya dengan adegan-adegan lucu. Saya bahkan bisa tertawa lepas di beberapa adegan dalam film ini. Di balik kesederhanaan alur cerita, film ini berhasil menangkap hati saya lewat humor. Jadi walaupun jalan ceritanya terasa hambar, pengalaman menonton film Escape from Planet Earth ini tetap memuaskan.

Selain humor, hal yang menarik dari film ini tentu saja animasinya. Mata saya benar-benar dimanjakan oleh animasi di dalam film ini. Memang tidak terasa ada hal baru yang ditawarkan lewat animasinya, tapi animasinya memang terlihat indah; titik beratnya tentu saja ada pada pemandangan planet Baab. Karakter-karakternya pun unik dan lucu, tapi sayang tidak ada gerombolan Minions.

Secara keseluruhan, Escape from Planet Earth ini bukan film yang istimewa. Dapat dikatakan bahwa film ini memang dari awal tidak dibuat untuk menjadi film yang istimewa. Walaupun begitu, di balik kesederhanaan alur ceritanya, film ini tetap mampu menghadirkan tawa dan menghibur hati penontonnya. Kalau Anda sedang memiliki waktu luang dan butuh sesuatu yang "menyegarkan", coba tonton film ini.

Minggu, 19 Mei 2013

Where the Wild Things Are

Film ini bercerita tentang Max. Max adalah seorang anak laki-laki yang memiliki daya imajinasi yang tak mengenal batas. Namun di balik semua rasa senang yang dia dapatkan saat dia bermain, Max memendam perasaan kesepian. Max merasa dirinya kurang diperhatikan oleh ibu dan kakaknya sementara Max sendiri tidak memiliki teman bermain. Rasa kesepian yang melanda Max ini lama-lama menumpuk dan keluar dalam bentuk amarah. Pada suatu malam, Max yang kecewa karena tidak digubris oleh ibunya pun mulai marah-marah sampai akhirnya ibunya pun balik memarahi Max. Di tengah-tengah konflik itu, Max memutuskan untuk lari sejauh mungkin dari rumahnya dan berpetualang menuju sebuah pulau where the wild things are (terjemahan: tempat para makhluk liar berada).

Cerita dalam film Where the Wild Things Are ini berlanjut dengan petualangan Max bersama para wild things yang bernama Carol, Ira, Judith, Alexander, Douglas, KW, dan The Bull. Max yang tiba-tiba muncul di pulau ini pada awalnya dijauhi oleh para wild things. Namun pada akhirnya Max berhasil berteman dengan mereka dan mereka bahkan menjadikan Max sebagai pemimpin mereka. Seiring berjalannya waktu, kehadiran Max pun secara perlahan membawa banyak perubahan ke dalam kehidupan para wild things, baik perubahan-perubahan positif maupun negatif.

Saya tidak akan menulis lebih lanjut tentang plot film ini karena saya khawatir akan membeberkan jalan ceritanya. Satu hal yang pasti, film ini adalah salah satu film dengan plot yang sangat sederhana. Wajar saja karena film ini memang merupakan hasil adaptasi dari sebuah buku cerita anak-anak dengan judul yang sama. Saya sendiri belum pernah membaca buku cerita tersebut, tapi saya yakin jalan ceritanya tidak rumit. Justru yang membuat saya penasaran adalah bagaimana sebuah buku cerita anak-anak sepanjang 48 halaman ini bisa dikembangkan ke dalam film dengan durasi sekitar 100 menit.

Kesederhanaan cerita dalam film ini justru menjadi nilai tambah karena jalan ceritanya lebih mudah dimengerti oleh anak-anak. Apalagi isu yang diangkat dalam ceritanya adalah tantrum, sebuah isu yang sangat erat dengan anak-anak. Cerita di dalam film ini berhasil menjelaskan apa itu tantrum dan mengapa hal itu tidak baik dengan pendekatan yang lebih seru dan mengena. Kenapa bisa lebih mengena? Karena film ini mengajak anak-anak untuk berkaca dan mencoba melihat tantrum dari sudut pandang orang ketiga; bukan dari sudut pandang mereka sendiri.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana cerita di dalam film ini juga menunjukan urgensi rasa kasih sayang dan kepedulian yang ada dalam keluarga. Max memang digambarkan sebagai seorang anak yang kesepian dan pemarah, tapi petualangan yang dilalui Max telah membuka matanya dan membawanya kembali ke pelukan penuh kasih ibunya. Bagaimana ceritanya? Silakan ditonton sendiri. Jangan lupa mengajak anak atau keponakan saat menonton film ini karena nilai moral dalam film ini begitu penting untuk ditanamkan dalam diri mereka.

Sabtu, 04 Mei 2013

Lego Batman: The Movie

Akhir pekan kali ini saya awali dengan menonton Lego Batman: The Movie bersama anak-anak. Sudah lama saya penasaran dengan film-film "Lego" ini, tapi baru kali ini saya berhasil meluangkan waktu menontonnya. Saya sengaja memilih edisi Batman karena memang anak-anak saya sudah mengenal tokoh pembela kebenaran yang satu ini.

Di luar dugaan saya, ternyata animasi yang ditawarkan di film Lego Batman ini cukup menarik. Memang awalnya saya pikir animasinya akan kaku dan tidak enak ditonton. Ternyata gerakan-gerakan karakternya mulus dan gambar latarnya pun tidak mengecewakan. Memang ada bagian-bagian yang sengaja dibuat "kaku" seperti gambar api yang benar-benar berbentuk seperti mainan lego yang ditempel di papan, tapi saya merasa bagian-bagian seperti ini justru menjadi ciri khas film lego.

Alur ceritanya pun tidak membosankan. Memang terlihat jelas bahwa alur cerita di dalam film ini tidak dibuat rumit, tapi tetap saja cukup seru untuk ditonton sampai selesai. Walaupun perjuangan Batman dan kawan-kawan melawan penjahat di dalam film ini mudah ditebak, film ini masih bisa menyajikan penampilan yang menghibur dan menyenangkan untuk ditonton.

Hal lain yang menarik dan juga tidak saya duga adalah kadar lelucon di dalam film ini. Saya sendiri tidak menyangka bahwa saya akan tertawa lepas menonton aksi Batman dan para superhero Justice League. Di balik perseteruan para pembela kebenaran dan para penjahat, polah tingkah lucu mereka membuat ceritanya tidak terus-menerus serius. Kelucuan-kelucuan mereka memberikan hiburan tersendiri di tengah kekacauan di kota Gotham.

Secara keseluruhan, film ini merupakan film yang pas untuk ditonton bersama anak-anak; terutama anak laki-laki yang gemar cerita aksi. Lebih pas lagi bila anak-anak yang menonton ini sudah terlebih dahulu mengenal tokoh-tokoh Justice League karena mereka akan melihat sisi yang lebih santai dari tokoh-tokoh ini. Hal ini bisa jadi merupakan hal yang bagus karena tak selamanya membela kebenaran itu rumit, kaku, dan serius.

Senin, 29 April 2013

Bedevilled

Bok-nam adalah seorang wanita yang diperlakukan dengan kasar, buruk, dan tidak adil oleh suami dan keluarga besarnya. Dia pun berusaha untuk melepaskan diri dari situasi buruk yang dihadapinya. Berbagai cara dia lakukan untuk keluar dari neraka itu. Dia meminta tolong kepada setiap orang yang berpeluang membantunya, mulai dari teman baiknya hingga seorang pelacur yang tidak terlalu dia kenal. Sayangnya tidak ada satu pun usahanya yang membuahkan hasil. Sampai suatu saat terjadi insiden yang menyebabkan anak satu-satunya meninggal dunia. It's payback time!

Bedevilled adalah film menegangkan yang menceritakan aksi balas dendam Bok-nam. Setelah terus-menerus menerima perlakuan buruk dari suami dan keluarga suaminya, Bok-nam akhirnya kehilangan akal sehatnya setelah satu-satunya alasan dia untuk tetap hidup, yaitu anak perempuannya, mati. Akhirnya dia memutuskan bahwa semua orang yang dianggapnya bersalah atas kematian anaknya pun harus mati di tangannya; termasuk teman baiknya sendiri.

Aksi balas dendam Bok-nam begitu menegangkan untuk diikuti. Yang membuatnya "menarik" adalah karena Bok-nam adalah tipe ibu rumah tangga yang hidup sederhana. Aksi Bok-nam tidak melibatkan hal-hal canggih seperti yang terlihat di film-film seperti I Saw the Devil. Aksi balas dendam wanita ini lebih sederhana dan pada akhirnya terasa lebih brutal, misalnya seperti menebas leher menggunakan celurit. Beberapa aksinya bahkan terlihat begitu vulgar dan sangat mungkin menyebabkan rasa mual di perut para penonton.

Pemilihan lokasi pengambilan film pun memiliki andil yang kuat untuk meningkatkan ketegangan saat menonton film ini. Lokasi yang dipilih merupakan sebuah pulau terpencil seperti halnya dalam film Battle Royale, sehingga pilihan bagi Bok-nam hanya membunuh atau dibunuh. Di sepanjang film pun kita dibuat menunggu apakah Bok-nam akan berhasil membabat habis keluarga suaminya atau justru Bok-nam yang akan dibunuh mereka?

Film ini memang brutal dan menegangkan, tapi di balik itu tetap terselip nilai moral yang kuat. Siapa pun yang menulis cerita film Bedevilled ini sepertinya ingin mengingatkan kepada kita tentang keberanian dan kepedulian kita untuk mengulurkan tangan dan membantu orang lain. Film ini seolah-olah ingin menyindir kita dengan rangkaian "seandainya": seandainya suami Bok-nam berlaku lebih baik, seandainya teman baik Bok-nam mau menolongnya, seandainya Bok-nam bertemu dengan orang baik di dunia ini, seandainya.... Bok-nam merupakan stereotip wanita baik hati yang berubah menjadi setan pembunuh karena tidak mendapatkan pertolongan dari orang-orang di sekitarnya. Nilai moral ini yang perlu kita sadari bersama karena bukan tidak mungkin kita pun sudah turut andil membuat seseorang kehilangan hati nuraninya.

Jumat, 19 April 2013

The Sessions

Terinspirasi dari sebuah esai berjudul On Seeing A Sex Surrogate, hadirlah sebuah film yang berjudul The Sessions. Sama seperti isi artikel tersebut, film The Sessions ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang penderita penyakit Polio yang ingin mencoba sesuatu yang tidak pernah (berani) dilakukannya selama puluhan tahun hidupnya. Mark, tokoh utama yang menderita penyakit Polio itu, akhirnya memutuskan untuk mencoba melakukan hubungan seks.

Mark, pria penderita penyakit Polio yang hanya bisa terbaring tak berdaya di tempat tidurnya, akhirnya memberanikan diri untuk mencari jalan agar dia bisa berhubungan seks dengan seorang wanita. Dia sadar bahwa kondisi cacatnya akan menghalangi tercapainya keinginan dia. Bukan hanya karena dia tidak bisa bergerak, tapi juga karena besarnya kemungkinan tidak ada satu wanita pun yang mau berhubungan seks dengan dirinya. Dengan bantuan seorang sex surrogate bernama Cheryl, Mark akhirnya berani melangkah maju untuk melepas "keperawanan"-nya.

Tema yang diangkat di dalam film ini tentu saja menarik buat saya. Tidak pernah dalam hidup saya, saya membayangkan ada orang yang mau dibayar untuk melakukan hubungan seks dengan orang tak dikenal, kecuali orang itu adalah seorang pelacur. Saya sempat bertanya-tanya tentang dilema yang dihadapi Cheryl yang bekerja sebagai sex surrogate saat menonton film ini karena dilema ini juga ikut diangkat lewat alur cerita film ini. Hanya saja saya memilih menerima "fakta" bahwa sex surrogate memang sebuah profesi yang legal agar saya dapat lebih menikmati jalan ceritanya.

Terlepas dari itu, fokus utama film ini tetap saja ada pada perjalanan hidup Mark untuk menjadi "lelaki sejati". Dari awal film ini, kita dapat melihat Mark yang berjuang mengalahkan rasa takut yang mengendap di hatinya. Mark harus bisa mengalahkan rasa bersalah yang kerap timbul di hatinya bahkan saat dia sekedar memikirkan untuk bisa berhubungan seks. Mark pun harus bisa menampik semua rasa takut bahwa dirinya akan ditolak oleh para wanita karena tubuhnya yang cacat. Mark harus bisa melewati hambatan-hambatan psikologis tersebut untuk bisa melakukan hubungan seks. Tentu saja semua itu tidak lepas dari peran Cheryl yang mau menerima Mark apa adanya sehingga Mark memiliki rasa percaya diri yang cukup untuk mengabaikan kegagalannya dan terus mencoba melakukan hubungan seks bersama Cheryl. Perjalanan Mark bersama Cheryl ini yang membuat cerita dalam film The Sessions ini menarik untuk diikuti hingga akhir.

Lebih dari itu, film ini pun menampilkan konflik-konflik "sampingan" yang menambah gereget saya untuk menonton, misalnya konflik batin seorang pendeta yang harus memilih antara mendukung Mark atau mempertahankan larangan seks di luar pernikahan. Selain itu diangkat juga masalah keluarga antara Cheryl dan suaminya saat suaminya mulai merasa adanya hubungan istimewa antara Cheryl dan Mark. Semua itu disajikan lewat cerita yang mengundang tawa dan haru. Pada akhirnya sulit bagi saya untuk membantah bahwa The Sessions adalah film istimewa yang penuh pelajaran hidup dan mampu meninggalkan kesan yang mendalam.

Kamis, 18 April 2013

Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives

Pertama kali saya mendengar tentang Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives adalah dari kawan saya, +Pratama Suprayogi. Dari informasi yang saya terima, sutradara film ini adalah penerima penghargaan Palme d'Or pada tahun 2010. Dengan penghargaan sekelas itu, wajar saja kalau orang awam seperti saya berpikir bahwa ada sesuatu yang unik dalam film ini. Pertanyaan besarnya adalah "apa?"

Saya akui memang ada banyak hal menarik dalam film pemenang Palme d'Or ini. Mulai dari kehadiran hantu istri Boonmee yang sudah lama meninggal, anak Boonmee yang tiba-tiba datang kembali dalam wujud menyerupai hewan setelah bertahun-tahun menghilang, dan kenyataan bahwa semua orang yang melihat dua makhluk tersebut dengan begitu mudah menerima kehadiran mereka tanpa basa-basi, semua itu adalah momen-momen mencengangkan yang membuat saya tertarik dengan kelanjutan ceritanya. Suasana mistik memang terasa begitu kental di sepanjang film ini. Ditambah lagi dengan lokasi hutan dan perkampungan, menonton film ini memberikan pengalaman yang begitu akrab bagaikan menonton film Indonesia.

Sayangnya kecepatan film ini benar-benar lambat. Awal ceritanya dimulai dengan lambat, di tengah cerita masih terasa lambat, tapi untungnya di akhir cerita... tetap lambat. Seolah-olah penulis cerita atau sutradara di film ini ingin menikmati setiap detik yang berlalu di dalam film ini. Entah apa tujuannya. Lambatnya pergerakan cerita di dalam film ini sukses membuat saya beberapa kali termenung dan kehilangan fokus saat menonton film ini.

Bukan hanya masalah kecepatan yang membuat saya bosan. Yang membuat saya kehilangan minat saya menonton Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives adalah ceritanya itu sendiri. Cerita di dalam film ini terlalu abstrak bagi saya; benar-benar abstrak. Walaupun secara garis besar saya menganggap tema di film ini menarik, saya lebih sering merasa bingung mengikuti jalan cerita dalam film ini. Sulit bagi saya untuk bisa memahami apa yang tersirat dalam film ini.

Kelihatannya film ini memang bukan sebuah film yang dapat dinikmati oleh kebanyakan orang. Sepertinya film ini lebih mudah dinikmati oleh orang-orang yang memiliki cita rasa artistik yang tinggi; bukan orang awam seperti saya. Alasan saya tetap menonton habis film ini hanya sebatas tuntutan profesi saya sebagai seorang reviewer amatir. Sementara sebagai seorang penggemar film, rasanya saya tidak akan memasukan film ini ke dalam daftar rekomendasi saya.

Rabu, 17 April 2013

The Cabin in the Woods

Seharusnya saya bisa menduga bahwa film The Cabin in the Woods ini bukan film horor biasa saat ada kata "comedy" dalam salah satu deskripsi yang saya baca. Dengan begitu saya tidak perlu memaksakan diri untuk menontonnya. Untungnya cerita di film ini tidak mengecewakan. Setelah selesai menonton, saya berani mengatakan bahwa film ini adalah film unik yang memang menarik untuk ditonton. Film ini menyuguhkan plot yang sedikit berbeda dibandingkan film-film horor Hollywood yang pernah saya tonton. Cantik!

Setelah saya membaca ulasan lain tentang film ini, saya semakin yakin kalau film ini layak diberikan apresiasi yang besar karena berhasil menyajikan alur yang unik di balik cerita horor yang terkesan gitu-gitu doank. Walaupun film ini melibatkan sekelompok anak remaja dengan karakter klise yang sedang berlibur ke daerah terpencil (yang juga klise), cerita dalam film ini berhasil mendobrak semua klise itu lewat konspirasi skala internasional (yang tidak mengharuskan kita berpikir keras tentunya). Konspirasi? Ya, konspirasi. Silakan tonton sendiri.

Yang saya sesalkan dalam film ini adalah pilihan monster utamanya. Di balik plotnya yang unik, the Cabin in the Woods seharusnya memiliki pilihan tanpa batas untuk urusan monster. Entah apa alasannya pilihan mereka justru jatuh pada monster yang paling gak banget, yaitu zombie. Hal ini memang subjektif. Saya pribadi sudah lama menjauh dari film dengan tema zombie karena saya merasa karakter zombie ini sudah terlalu sering dieksploitasi. Seharusnya kita mengasihani para zombie itu.

Kekecewaan kedua adalah "konspirasi skala internasional" yang terkesan dipaksakan untuk muncul. Kalau memang ingin memunculkan negara-negara selain Amerika di dalam sebuah film, seharusnya mereka bisa memberikan lebih banyak waktu dan "peran" bagi negara-negara lain itu. Kalau memang durasinya tidak memungkinkan, kenapa harus membawa Jepang atau negara lain ke dalam cerita? It's pretty pointless. Itu pendapat saya.

Walaupun begitu, rasa kecewa yang muncul tidak serta-merta membuat film ini jelek di mata saya. Saya akan tetap akui bahwa uniknya plot di film ini memiliki daya jual yang tinggi. Bila kita ingin menonton film horor dengan plot yang agak out-of-the-box, maka The Cabin in the Woods adalah pilihan yang baik untuk menghabiskan waktu senggang kita.

Minggu, 31 Maret 2013

Tad, The Lost Explorer

Jarang-jarang saya menulis lebih dari 1 (satu) review film pada hari yang sama. Review kali ini adalah tentang film berjudul Tad, The Lost Explorer. Tad, The Lost Explorer adalah sebuah film petualangan sejenis Indiana Jones. Sayangnya saya tidak terlalu ingat film-film Indiana Jones yang pernah saya tonton. Film jenis petualangan seperti ini yang terakhir saya tonton adalah The Adventures of Tintin.

Film ini bercerita tentang petualangan Tad, seorang pekerja konstruksi, yang "diutus" menggantikan Profesor Humbert untuk membawa kepingan artifak ke sebuah situs arkeologi. Bagaimana mungkin seorang pekerja konstruksi diutus menggantikan seorang profesor? Silakan menonton sendiri untuk tahu ceritanya. Intinya adalah Tad akhirnya terlibat dalam petualangan seru untuk menemukan sebuah kota legenda penuh emas sambil berusaha menghindari komplotan penjahat yang juga ingin menguasai emas tersebut.

Walaupun terkesan seru, saya masih beranggapan bahwa film ini (Tad, The Lost Explorer) tidak terlalu spesial. Alur cerita dan berbagai misteri di balik petualangan yang disajikan dalam film ini tidak terlalu istimewa. Kalau dibandingkan dengan The Adventures of Tintin, film ini jelas kalah menegangkan. Plot twist yang tersurat di dalam film ini pun mudah ditebak; bahkan oleh saya yang terbilang jarang menonton film dengan genre seperti ini.

Hanya saja kualitas animasi Tad, The Lost Explorer ini bisa diacungi jempol; satu jempol saja. Gerakan karakter-karakternya tidak kaku dan lingkungan di sekitar karakter-karakter utamanya masih terlihat hidup. Kualitasnya memang tidak spesial, tapi tentu saja tidak mengecewakan. Animasi yang disajikan oleh film ini membuat saya tetap bisa menikmati jalan ceritanya yang cenderung monoton.

Hal menarik lainnya dalam film ini tentu saja unsur komedinya. Karakter-karakter pembantu di dalam film ini cukup berhasil membuat saya tertawa, terutama Jeff dan Belzoni. Hanya saja unsur komedinya memang tidak banyak dan lebih banyak mengandalkan lelucon slapstick, tapi porsinya cukup memadai untuk menghilangkan rasa bosan saat menonton film ini. Dengan kombinasi animasi dan komedi yang baik, film Tad, The Lost Explorer bisa menjadi alternatif tontontan di akhir pekan.

The Lorax

Thneedville, sebuah kota yang penuh dengan barang-barang plastik. Bahkan pohon-pohonnya pun dibuat dari bahan plastik; salah satu modelnya butuh 96 batere (kemungkinan batere ukuran AA). Thneedville tumbuh megah di tengah-tengah dunia yang tidak memiliki udara bersih. Penduduknya harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli udara bersih. Kenapa? Karena di dunia ini tidak ada satu pohon pun yang hidup.

Thneedville adalah kota yang menjadi pusat cerita dalam film The Lorax. Berdasarkan namanya, Thneedville adalah kota yang dibangun dari start up sukses bernama Thneed. Kesuksesan produk Thneed ini sepertinya menjadi cikal-bakal berkembangknya kota bernama Thneedville. Hanya saja Thneed ini pula yang menjadi sumber malapetaka di Thneedville karena semakin banyak Thneed yang dijual, semakin banyak pohon yang harus ditebang untuk dijadikan bahan bakunya.

Cerita dalam film The Lorax ini berputar pada ketiadaan pohon pasca kesuksesan (dan kebangkrutan) usaha Thneed. Seorang remaja pria bernama Ted, demi mendapatkan hati dari cinta sejatinya, berpetualang mencari Once-ler (baca: Wansler) untuk mendapatkan sebuah pohon yang asli. Menurut legenda, Once-ler adalah orang yang tahu tentang sejarah kelam hilangnya pohon-pohon di dunia ini. Singkat cerita (dan demi menjaga tidak banyaknya spoiler dalam tulisan ini), Once-ler memberikan bibit pohon terakhir kepada Ted. Cerita pun berlanjut dengan petualangan Ted untuk menanam bibit terakhir ini.

The Lorax memang merupakan sebuah film dengan nilai moral yang kental tentang lingkungan hidup. Tema lingkungan hidup dalam film ini bahkan sempat mengingatkan saya pada film Wall-E. Bedanya dengan Wall-E, film The Lorax ini memiliki alur cerita yang sedikit lebih sederhana. Film The Lorax ini pada dasarnya bercerita tentang keserakahan. Keserakahan ini telah membuat Once-ler menghancurkan pohon-pohon demi kesuksesan bisnisnya. Untungnya penyesalan Once-ler dan determinasi Ted berhasil mengembalikan harapan hidup bagi pohon-pohon dan dunia dengan udara yang kotor ini.

Memang ada banyak hal positif dalam film The Lorax. Ceritanya cukup seru, animasinya ciamik (dibuat oleh para pembuat Despicable Me) dengan karakter-karakter yang unik dan lucu, dan nilai-nilai di balik ceritanya sangat penting untuk dipahami para penerus bangsa (baca: anak-anak). The Lorax adalah film yang menarik dan sangat cocok ditonton bersama keluarga, baik keluarga sendiri maupun keluarga tetangga.

Selasa, 19 Maret 2013

Brave

Saya baru saja menonton sebuah video TED yang berjudul How movies teach manhood. Video itu menjelaskan banyak hal terkait peran yang diberikan kepada wanita dalam film. Saya setuju memang peran utama dalam film-film saat ini lebih banyak diberikan kepada pria, baik pria dalam bentuk manusia, binatang, karakter video game, maupun pria dalam bentuk lainnya. Film-film yang saya tahu dan lebih mengedepankan karakter-karakter wanita dalam ceritanya memang tidak terlalu banyak.

Salah satu contoh film yang menjadikan wanita sebagai karakter utama dalam ceritanya adalah Brave. Hal ini menjadikan Brave sebagai salah satu film yang berkesan bagi saya. Sebenarnya ide ceritanya tidak terlalu istimewa, yaitu tentang seorang gadis tomboi yang tidak mau hidup di bawah bayang-bayang orang tuanya. Hanya saja cerita "pemberontakan" Merida (gadis yang menjadi tokoh utama dalam film ini) terasa lebih menarik karena melibatkan seorang penyihir dan sebuah kutukan.

Yang juga menarik dari film Brave ini adalah hubungan antara ibu dan anak perempuan yang diperlihatkan sepanjang film. Ibu Merida (yang secara kebetulan adalah seorang ratu) merupakan wanita yang tegas; bahkan lebih tegas dari suaminya. Sayangnya dalam mendidik Merida, Sang Ibu ini terlalu memaksakan keinginannya. Jadi sepanjang film ini kita akan melihat perseteruan antara anak perempuan dan ibunya yang sama-sama memaksakan keinginannya.

Walaupun begitu, satu poin yang paling berkesan bagi saya dalam film Brave ini adalah tidak adanya pernak-pernik asmara di dalam ceritanya. Seperti yang saya sampaikan di atas, ide cerita dalam film ini memang tidak terlalu istimewa sehingga saya pun menduga bahwa Merida ini pada akhirnya akan bertemu juga dengan pria impiannya. Ternyata sampai akhir film pun Merida tetap menjadi Merida yang independent, single, and "quite" available.

Film Brave memang sangat menonjol di sisi animasinya; sangat menonjol. Ide ceritanya memang biasa saja, tapi saya pribadi masih terhibur dengan kualitas animasi yang disuguhkan lewat film ini. Kalau kita ingin menonton film dengan peran utama wanita yang memiliki cerita yang mendalam, saya sarankan untuk menonton film-film produksi Studio Ghibli seperti The Cat Returns, Kiki's Delivery Service, PonyoMy Neighbor Totoro, atau Spirited Away.

Minggu, 10 Maret 2013

Rise of the Guardians

Rise of the Guardians adalah film fantasi yang penuh aksi dengan plot yang seru dan animasi yang memanjakan mata penonton. Film ini bercerita tentang sekelompok "Guardian", yaitu Santa Claus, Easter Bunny, Tooth Fairy, dan Sandman. Setiap karakter Guardian ini digambarkan sebagai karakter yang "modern"; jauh dari gambaran karakter-karakter ini pada umumnya. Film ini tidak hanya berusaha menghidupkan keempat mitos ini, tapi juga menampilkan persepsi yang berbeda (baca: jauh lebih keren) terhadap mereka. Frankly, I'm impressed and I believe that you'll be impressed as well when you watch the movie.

Terlepas dari karakter-karakter yang menarik itu, film Rise of the Guardians ini juga memiliki alur cerita yang menarik untuk diikuti. Ceritanya bermula saat Santa Claus menyadari kehadiran sosok jahat yang bernama Pitch Black yang juga dikenal dalam mitos sebagai Boogeyman. Pitch Black adalah mitos yang identik dengan rasa takut dan sepertinya sangat terkenal di kalangan karakter-karakter mitos karena sifat jahatnya. Kehadirannya memaksa Santa Claus untuk memanggil para Guardian yang lain untuk memastikan keberadaan Pitch Black dan mencegah rencana jahatnya. Saat mereka berempat berkumpul, Man in the Moon (yet another mythical character) memutuskan untuk menugaskan karakter mitos lainnya sebagai Guardian. Karakter mitos yang dipilih oleh Man in the Moon adalah... wait for it... Jack Frost.

Jack Frost yang digambarkan sebagai karakter yang cuek dan suka main-main pada awalnya tidak mau menjadi Guardian. Penolakan dia sepertinya juga diwarnai oleh rasa irinya karena tidak ada anak-anak yang mempercayai keberadaannya. Dalam film ini, Jack Frost itu ibarat mitos dalam mitos. Mitos yang dipercaya keberadaannya dapat dilihat dan bahkan dapat berinteraksi dengan anak-anak, sementara "mitos dalam mitos" seperti Jack Frost ini bahkan tidak dapat disentuh oleh anak-anak. Sad, isn't it?

One thing led to another, akhirnya Jack Frost bergabung dengan para Guardian untuk melawan Pitch. Alur cerita dalam film pun langsung fokus pada aksi 5 (lima) jagoan kita menghadapi bala tentara kuda hitam yang berada di bawah kendali Pitch Black. Tentu saja ceritanya tidak monoton dan hanya berisi baku-hantam antara kekuatan baik dan kekuatan jahat. Di balik adegan-adegan aksi yang seru ini, kita bisa melihat betapa kesepiannya Jack Frost dan Pitch Black yang tidak dipercaya keberadaannya. Di bagian cerita ini, emosi penonton pun turut dilibatkan saat Jack Frost dan Pitch Black berjuang untuk dipercaya oleh anak-anak dan keluar dari perasaan sepi yang berkepanjangan itu. Yang disayangkan adalah Pitch Black lebih memilih cara-cara kotor untuk mencapai keinginannya.

Film ini pun sesekali waktu menyelipkan lelucon di tengah-tengah cerita. Lelucon-lelucon ini untungnya tidak berlebihan dan tidak dipaksakan. Kehadiran Baby Tooth, Elf dan Yeti juga ikut meramaikan suasana ceria di dalam film ini. Para Elf, khususnya, mengingatkan saya pada the adorable minions dalam film Despicable Me. Ada begitu banyak hal menarik dalam film ini yang dapat menghibur siapa saja, baik anak-anak maupun orang dewasa. Dengan kombinasi aksi, emosi, dan komedi ini, film Rise of the Guardians adalah sebuah film yang sangat layak untuk ditonton. Have fun!

Minggu, 03 Maret 2013

Flight

Film Flight ini memulai ceritanya tanpa basa-basi. Penonton langsung dibawa ke angkasa untuk terbang bersama SouthJet 227 di tangan seorang pilot bernama Kapten William "Whip" Whitaker. Suasana tegang langsung melanda film ini karena SouthJet 227 lepas landas saat kondisi cuaca sedang sangat buruk. Kondisi Kapten Whip yang "tidak prima" pun membuat adegan lepas landas pesawat ini terasa lebih menegangkan. Saya bahkan berpikir kalau kecelakaan pesawat yang menjadi dasar cerita dalam film Flight ini akan segera terjadi. Ternyata masih ada adegan yang lebih menegangkan lagi saat pesawat ini akhirnya menghantam bumi, tapi tentunya sayang bila saya share di sini.

Terlepas dari itu, film ini ternyata bercerita lebih dari sekedar kecelakaan pesawat. Seharusnya saya sudah menduganya karena awal cerita dalam film ini memang agak aneh. Wajar saja bila film ini menggambarkan seorang pilot dengan penerbangan terakhirnya, tapi entah kenapa film ini juga memulai ceritanya dengan menampilkan seorang wanita bernama Nicole yang merupakan seorang pecandu narkotik. Nyambungnya di mana? Kenapa ada seorang pecandu narkotik di dalam film yang bercerita tentang seorang pilot dan kecelakaan pesawat? Pertanyaan-pertanyaan ini justru membuat saya semakin penasaran.

Saat Kapten Whip, yang harus dirawat setelah pesawatnya jatuh, dan Nicole, yang harus dirawat karena mengalami overdosis, akhirnya benang merah itu pun terlihat jelas. Nasib akhirnya mempertemukan dua insan ini karena mereka memiliki satu kesamaan; mereka sama-sama pecandu. Pelan tapi pasti, cerita di dalam film ini pun mulai memperlihatkan tema yang lebih besar dari sekedar kecelakaan pesawat, yaitu tentang kehidupan para pecandu dan bagaimana mereka mengatasi kecanduan mereka. Jelas sudah bahwa ada alasan yang kuat saat Kapten Whip digambarkan sebagai sosok yang gemar minum; bahkan saat dia hendak menerbangkan pesawat. Ini yang saya maksud dengan "kondisi yang tidak prima" di atas.

Walaupun hasil investigasi menunjukan bahwa kondisi pesawat secara teknis memang buruk, Kapten Whip tetap dianggap bersalah. Tindakan heroiknya yang luar biasa (dan sepertinya tidak mungkin dilakukan di dunia nyata) akhirnya sirna ditelan dosanya karena berani menerbangkan pesawat saat mabuk. Di balik tekanan tuntutan kejahatan atas dirinya, Kapten Whip pun berjuang untuk melepaskan diri dari belenggu minuman keras. Di sini kita bisa melihat naik-turunnya determinasi seorang pecandu alkohol. Ada kalanya Kapten Whip berubah menjadi teguh dan menjauhi minuman keras, tapi tiba-tiba keteguhan hati ini hilang begitu saja seperti membalik telapak tangan. Dampak buruk alkohol (dan berbagai zat candu lainnya secara keseluruhan) juga dapat kita lihat sepanjang film ini.

Film Flight ini tidak sekedar bercerita tentang seorang pilot, tapi lebih banyak bercerita tentang seorang pecandu alkohol yang kebetulan menjadi seorang pilot. Kita (penonton) tidak hanya diajak untuk melihat intrik di dunia penerbangan, tapi kita akan melihat lebih banyak kebohongan dan konflik dalam kehidupan seorang pecandu alkohol. Yang akan kita tonton dalam film ini bukan sekedar tentang cara si Pilot ini menyelamatkan harga diri dan pekerjaannya, tapi lebih cenderung ke cara si Pecandu ini menyelamatkan hidupnya. Pada beberapa hal, film ini memang berlebihan dan tidak masuk akal, tapi karakter dan kehidupan Whip Whitaker adalah sesuatu yang layak untuk ditonton. It's good enough for me.

Minggu, 24 Februari 2013

Robot & Frank

Setiap orang bisa bermimpi untuk memiliki robot sebagai asisten pribadi atau pembantu rumah tangga. Di dalam film Robot & Frank, mimpi itu dibuat menjadi kenyataan. Frank adalah pria lanjut usia yang sudah mulai pikun. Dia hidup jauh dari pusat kota sehingga menyulitkan anak-anaknya untuk datang dan mengurus dia. Istrinya pun sudah pergi meninggalkannya. Frank sebenarnya sudah kesulitan mengurus hidupnya sendiri. Hingga suatu hari, anak laki-lakinya, Hunter, memutuskan untuk membeli sebuah robot untuk membantu mengurus ayahnya.

Frank, yang merasa hidupnya baik-baik saja, awalnya menolak kehadiran si Robot. Bagi Frank, robot ini tidak melakukan apa pun selain merusak hidupnya; terutama karena robot ini diprogram untuk mengatur pola hidup sehat untuk Frank. Frank yang awalnya hanya sarapan sereal pun harus siap makan sayur dan buah setiap pagi. Si Robot bahkan mengatur jadwal olah raga dan kegiatan-kegiatan positif yang dapat membantu Frank untuk tetap fokus sehingga pikunnya tidak bertambah parah. Intinya hidup Frank benar-benar dibuat jungkir balik oleh si Robot; in a good way, though.

Walaupun begitu, Frank akhirnya mengalah dan menerima kehadiran si Robot. Kenapa? Karena ternyata si Robot ini bisa diajarkan untuk membobol kunci. Frank, yang memang mantan pencuri kelas kakap, seperti menemukan kembali tujuan hidupnya yang hilang. Frank mulai beranggapan bahwa si Robot ini bisa menjadi rekan pencuri yang handal. Frank mulai mempertanyakan bagaimana sikap si Robot tentang kejujuran, kepercayaan, dan pencurian. Sampai akhirnya Frank yakin bahwa si Robot ini bisa dia libatkan dalam aksi pencurian kecil-kecilan. Dalam aksi pertamanya, Frank mengajak si Robot membobol sebuah perpustakaan lokal untuk mencuri buku Don Quixote.

Persahabatan antara Frank dan si Robot pun mulai terbentuk. Hidup Frank yang monoton dan gitu-gitu aja berubah menjadi menarik. Frank kembali menemukan gairah dalam hidupnya. Frank akhirnya menemukan sebuah tujuan hidup yang ingin dia capai sepenuh hati. Frank pun sadar bahwa semua perubahan positif dalam hidupnya ini terjadi berkat kehadiran si Robot dalam hidupnya. Robot yang sebelumnya ingin dia singkirkan itu berubah menjadi robot yang ingin dia pertahankan selama hidupnya.

Masih banyak hal-hal menarik lain yang bisa diceritakan dalam Robot & Frank, tapi saya sudah berjanji untuk tidak menulis review film lebih dari 5 (lima) paragraf. Yang pasti, film ini adalah film drama keluarga yang unik. Persahabatan antara Frank dan si Robot ini begitu menyentuh hati, tapi pada saat yang sama bisa begitu menegangkan dan asyik untuk diikuti dengan aksi-aksi pencurian yang mereka rencanakan dan lakukan. It is a movie worth 89 minutes of your time.

Rabu, 20 Februari 2013

Pesan Terselubung dalam Film

Film itu memiliki pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi pola pikir dan budaya masyarakat. Siapa pun (yang memiliki modal) dapat menyampaikan pesan-pesannya lewat film. Pesan-pesan yang disampaikan lewat film itu seringkali disampaikan secara terselubung; kontras dengan, misalnya, iklan. Pesan-pesan terselubung ini punya kekuatan pengaruh tersendiri dan penonton bisa jadi menyetujui pesan-pesan ini tanpa mereka sadari.

Rokok adalah contoh yang paling kongkrit. Kampanye paling mudah agar orang-orang menerima rokok adalah dengan membuat para aktor/aktris utama merokok. Penonton yang "kagum" dengan para aktor/aktris utama tersebut secara tidak langsung akan (secara perlahan-lahan) mengakui bahwa merokok itu tidak masalah atau bahkan keren. Pada dasarnya memang image itu yang ingin disampaikan oleh industri rokok, yaitu bahwa merokok itu keren. Dengan begitu mungkin saja orang yang tadinya anti rokok sekalipun akan menerima nilai positif dari rokok setelah beberapa kali melihat film dengan aktor utama yang merokok.

Industri rokok tentu saja bukan satu-satunya pihak yang memanfaatkan kekuatan pengaruh film ini karena pada dasarnya semua jenis isu bisa disampaikan lewat film. Google saja sudah beberapa kali "muncul" dan menjadi bagian dari cerita dalam film, walaupun "perannya" kecil. Contohnya dalam film The Smurf pada adegan saat aktor utamanya googling untuk mencari informasi tentang kemunculan bulan biru (atau informasi tentang makhluk Smurf itu sendiri ya?). Produk elektronik seperti smartphone pun sudah pasti muncul dalam film sebagai bagian "tak terpisahkan" dari kehidupan karakter-karakternya. Belum lagi produsen-produsen kendaraan dengan mobil mewah mereka yang berseliweran di dalam film-film aksi.

Pesan-pesan terselubung yang disampaikan lewat film pun tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat komersil saja. Banyak sekali isu-isu sosial yang juga disampaikan lewat film. Bedanya adalah untuk isu-isu sosial seperti ini pesan-pesannya kadang disampaikan secara gamblang. Jenis film dokumenter adalah salah satu contoh film yang menyampaikan pesan-pesannya secara gamblang; termasuk film-film yang inspired by or based on true events.

Walaupun begitu, pesan-pesan terselubung ini masih menjadi mayoritas. Di dalam film-film aksi, bisa jadi ada pesan terselubung untuk melestarikan lingkungan hidup. Di dalam film-film remaja, bisa jadi ada pesan terselubung untuk melestarikan pergaulan bebas (atau bahkan seks bebas). Di dalam film-film drama, bisa jadi ada pesan terselubung untuk memberikan dukungan kepada komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender). Dan masih banyak lagi pesan-pesan terselubung yang masuk ke dalam pikiran kita tanpa kita sadari (karena toh tema filmnya sendiri berbeda). Kalau kita tidak ingin pola pikir dan budaya kita terpengaruh oleh film, maka kita perlu lebih kritis dan tidak menerima begitu saja cerita fiksi yang didramatisir oleh para pembuat film.

Minggu, 17 Februari 2013

Wreck-it Ralph

Film animasi ketiga yang akan saya bahas di blog ini adalah Wreck-it Ralph. Sejak awal saya tahu mengenai Wreck-it Ralph, saya langsung tambahkan film ini ke dalam wishlist saya. Siapa yang tidak suka film animasi yang bercerita tentang karakter jahat di sebuah game yang ingin berubah menjadi karakter baik? Yang pasti, saya suka.

Seperti yang saya bayangkan, Wreck-it Ralph menceritakan suatu dunia tersendiri yang berisi karakter-karakter game dengan balada kehidupan mereka masing-masing. Dunia ini ada di balik sebuah pusat game seperti Time Zone atau, untuk mereka yang [uhuk] lebih berumur [uhuk], tempat main ding-dong. Bayangkan semua karakter game di pusat game itu berkumpul, bercengkerama, bergaul, dan melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan sepulang kerja; dimulai saat pusat game itu tutup. It's like a combination of Toy Story 3 and Monsters, Inc. Seru? Buat saya, seru dan nostalgic.

Paling tidak perasaan seperti itu yang saya rasakan di awal film ini. Seiring waktu, cerita pun mulai fokus pada Ralph, karakter jahat di game Fix-it Felix Jr., yang bertekad untuk menjadi karakter baik. Ceritanya pun bergulir dengan pola yang cukup mudah ditebak. Awalnya diisi dengan cerita yang ringan; Ralph seolah-olah bisa segera mendapatkan impiannya. Kemudian saat segala sesuatu berjalan mulus bagi Ralph, masalah pun mulai bermunculan; satu demi satu. But I'll spare you the details.

Di dalam petualangannya itulah Ralph menemukan banyak hal baru; termasuk bertemu dengan gadis cilik imut yang nyolot bin nyebelin bernama Vanellope von Something. Seperti yang bisa kita duga, pertemuan dengan Vanellope ini merupakan awal perubahan sikap Ralph. Ralph yang tadinya begitu bersemangat (baca: memaksa) untuk diakui sebagai karakter baik, perlahan mulai melunak dan menyadari ada yang lebih penting daripada menjadi karakter baik di dalam sebuah game, yaitu berusaha menerima dirinya apa adanya.

Moral value di film ini memang cukup dalam. Bisa dibayangkan betapa mendalamnya kesan yang diberikan Ralph saat dia akhirnya bisa menegaskan pada dirinya bahwa "I am bad, and that's good.... I will never be good, and that's not bad.... There's no one I'd rather be than me." saat dia mengorbankan diri dengan meluncur bebas dari langit ke sebuah "gunung berapi" demi menyelamatkan dunia game itu dari kehancuran. Di balik itu pun masih ada nilai-nilai positif  lainnya seperti efek buruk rasa iri dan keegoisan, pentingnya bergerak meninggalkan masa lalu yang kelam, bagaimana menghargai orang lain terlepas dari apa pun "profesi" orang itu, dan berbagai pesan moral lainnya. Walaupun begitu, film ini masih tetap seru untuk dinikmati apa adanya (baca: tanpa perlu memikirkan pesan moral apa pun).

PS:
Satu-satunya hal yang saya sayangkan dari film ini adalah kemunculan karakter-karakter game lain seperti Sonic the Hedgehog atau Ryu (Street Fighter) hanya sekilas dan tidak mempengaruhi plot sama sekali.

Jumat, 08 Februari 2013

Cloud Atlas

Kembali lagi ke film dengan tema yang serius bin berat. Kali ini saya ingin membahas tentang Cloud Atlas. Film ini bercerita tentang kehidupan manusia dengan rentang waktu yang saaangat panjang. Plot film ini mulai dari abad 19 hingga nun jauh di masa depan. Jadi kita harus maklum kalau durasi film ini hampir mencapai 3 (tiga) jam.

Film ini membawa pesan moral yang sangat dalam. Sebegitu dalamnya sampai saya sendiri sulit memahami apa sebenarnya yang ingin disampaikan lewat film ini. Pada akhirnya yang saya tangkap hanyalah prinsip "the weak is meat, the strong do eat". Film ini sepertinya ingin mengatakan bahwa prinsip ngawur ini telah merusak kehidupan manusia dengan berbagai dampak negatifnya... berkali-kali... dalam rentang waktu yang sangat panjang seperti ditunjukan film ini.

Yang menarik dari film ini dan mampu membuat saya bertahan selama hampir 3 (tiga) jam menontonnya adalah karena film ini dibagi menjadi 6 (enam) cerita yang cukup menarik untuk diikuti. Terus terang saja, bila cerita-cerita ini dituangkan ke dalam 6 (enam) film berbeda, saya mungkin akan menonton beberapa film saja; tidak semua. Akan tetapi, setiap cerita di film ini memang memiliki pointer yang seolah-olah membentuk benang merah dalam kehidupan manusia dari abad 19 hingga jauh di masa depan.

Hal lain yang juga menarik --dan sepertinya unik-- dalam film ini adalah setiap cerita itu melibatkan aktor-aktor yang sama. Di sinilah ajang para make-up artist (crew) untuk membuktikan kebolehannya karena setiap aktor memiliki tampilan yang berbeda; sangat berbeda. Walaupun ada beberapa aktor, misalnya Tom Hanks, yang mudah dikenali di setiap cerita, ada aktor-aktor lain yang bahkan tidak saya kenali bila saya tidak melihat daftar cast-nya di IMDB.

Durasi yang ekstra lama tidak membuat film ini menjadi bertele-tele dan pada akhirnya membosankan. Selain itu, 6 (enam) cerita yang ada di dalam film ini pun pada dasarnya menarik. Secara keseluruhan, film ini sangat bisa dinikmati. Penikmat film ini pun bisa datang dari berbagai jenis audience karena 6 (enam) cerita dalam film ini datang dari berbagai genre film. Hanya saja tema yang diangkat terlalu kompleks, dan beberapa adegan terlalu blakblakan, membuat film ini tidak akan cocok untuk ditonton anak-anak.

Sabtu, 26 Januari 2013

Hotel Transylvania

Film animasi pertama yang akan saya bahas di blog ini adalah Hotel Transylvania. Film ini sempat masuk wishlist saya karena poster dan trailer-nya memang menggiurkan. Saya menaruh harapan banyak pada film ini karena rasanya memang sudah lama sekali saya tidak menonton film animasi yang memanjakan mata.

Disclaimer (yang sangat terlambat): Setiap ulasan di blog ini kemungkinan besar mengandung spoiler. Continue at your own risk.

Animasi film Hotel Transylvania memang mantap. Paling tidak, animasi yang disajikan di dalam film ini sudah memenuhi standar kepuasan saya. Kualitas animasinya memuaskan dan gambaran karakter-karakternya pun lucu dan menarik. Yang disayangkan adalah "hotel"-nya itu sendiri tidak terlalu diekspos. Sepertinya menarik bila ada adegan yang mengajak kita melihat megahnya Hotel Transylvania di film Hotel Transylvania ini.

Animasi di film ini memang memuaskan, lalu bagaimana dengan plotnya? Tentu saja ba.... Tidak. Ternyata plot film ini tidak lebih dari plot drama remaja pada umumnya. You know, that story when a teenager turns 18 and ready to explore the world when her over-protective father decided to get in her way. Sounds very-very-very familiar, right? Bahkan twist di dalam film ini pun gitu-gitu doang. Bedanya adalah film ini memasukan berbagai varian monster ke dalam ceritanya.

Justru unsur monster ini yang membuat film ini tetap menarik. Walaupun dari sisi plot saya tidak lagi berharap banyak, berbagai kelakuan lucu yang dilakukan monster-monster di Hotel Transylvania ini berhasil mengangkat citra film ini di mata saya. Bahkan ada beberapa kelakar dan adegan lucu yang membuat saya bisa tertawa dengan puas. Those were the most enjoyable moments I had when I'm watching this movie.

Kesimpulan saya adalah film ini adalah film dengan plot yang sangat-super-sederhana. Plotnya begitu sederhana sampai saya dibuat speechless di bagian akhir film; speechless dengan ekpresi muka yang datar tentunya. Bahkan rangkaian adegan penutup, yang menurut saya adalah bagian klimaks dari film ini, justru membuat plot di film ini terkesan "maksa". Pada akhirnya, walaupun saya beri jempol untuk animasinya, film Hotel Transylvania tidak memberikan kesan yang berarti dalam benak saya.

Salam Dracula. Bleh, ble-bleh.

P.S.:
Sangat besar kemungkinannya bahwa tingginya harapan saya pada plot film Hotel Transylvania ini dipengaruhi oleh kesan yang mendalam saat saya menonton film Monsters, Inc.

Sabtu, 19 Januari 2013

Crulic, The Path to Beyond

Film ketiga yang saya bahas di blog ini berjudul Crulic, The Path to Beyond (untuk selanjutnya saya sebut Crulic). Sepertinya halnya 5 Broken Cameras dan Compliance, film yang satu ini pun merupakan film yang tragis dan depressing. Crulic bercerita tentang kehidupan seorang average Romanian yang menjadi korban buruknya sistem penegakan hukum di Polandia.

Selain film tragis dan depressing ketiga yang saya bahas di blog ini, film Crulic ini juga dibuat berdasarkan kisah nyata; sama seperti 5 Broken Cameras dan Compliance. Film Crulic ini bercerita tentang Claudiu Crulic, yaitu saat dia harus mengalami detention selama 3 (tiga) bulan karena dituduh mencuri dompet seseorang (yang sepertinya merupakan orang berpengaruh) di sebuah toko di Polandia.

Sebelum saya lanjutkan, saya sengaja menegaskan penggunaan kata detention. Detention ini berbeda dengan arrest. Bedanya di mana? Silakan googling detention vs arrest lebih lanjut.

Cerita tentang detention Crulic ini sampai diangkat ke layar lebar karena selama 3 (tiga) bulan itu, Crulic memutuskan untuk mogok makan. Alasan dia mogok makan adalah karena dia yakin dia tidak bersalah atas tuduhan mencuri dompet itu. Dia ingin menegaskan kepada semua pihak bahwa dia sudah diperlakukan secara tidak adil oleh sistem penegakan hukum di Polandia.

Di sini mungkin kita bertanya-tanya seberapa tragis nasib Crulic. Crulic yang ditahan di Polandia ini dapat diibaratkan seperti seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita) Indonesia yang dituduh macam-macam di negara Malaysia. Jadi coba bayangkan kondisi emosional kita karena dituduh tanpa dasar yang kuat, ditambah dengan menurunya kondisi fisik karena tidak makan selama 90 hari, dan tidak ada seorang pun yang datang membantu kita. Pahit? Worse than just "pahit". Kondisi ini pun masih terus bertambah parah, tapi akan lebih baik kalau kelanjutan kisah Crulic ini ditonton sendiri.

Perlu saya tegaskan bahwa kehidupan Claudiu Crulic dalam film ini diceritakan dari sudut pandang Crulic sendiri (seperti autobiografi) lewat seorang narator dengan gaya bicara yang penuh sarkasme dan lelucon getir. Dengan begitu, film ini sukses menemukan nuansa "kelam"-nya. Kalaupun ada sisi "terang" dalam film ini, si Narator berhasil membuatnya tetap terlihat getir. Hal lain yang unik dari film ini adalah kombinasi animasi 2D, animasi 3D, dan animasi stop-motion (dengan dasar foto-foto asli) yang rasanya pas dengan nuansa "kelam" di balik tragisnya pengalaman hidup Crulic di film ini.

Selasa, 15 Januari 2013

Compliance

Sebenarnya saya tidak ingin terlalu sering menulis tentang film, karena itu berarti saya harus lebih sering menonton film. Akhir-akhir ini saya sudah berhasil mengendalikan nafsu saya untuk menonton film sehingga saya hanya menonton di akhir pekan. Umumnya saya sempat menonton 1 (satu) film per pekan; atau 2, atau 3, atau .... Anyway, kali ini saya akan menulis tentang Compliance.

**

Saya selalu tertarik untuk menonton film yang inspired by true events. Film-film sejenis ini seolah-olah membawa realita dari dunia lain ke hadapan saya dan pada umumnya mampu memperluas wawasan saya; Compliance ini adalah salah satunya. Tema prank call yang diangkat dalam film ini jelas meningkatkan minat saya untuk menonton.

Tidak lama sebelum saya mengetahui keberadaan film ini, saya sempat membaca berita tentang kematian seorang perawat bernama Jachinta Saldanha --entah bagaimana pengucapan nama ini. Jachinta Saldanha ditemukan meninggal karena bunuh diri dan kematiannya dikaitkan dengan sebuah prank call yang dilakukan oleh penyiar radio --sepertinya mirip program Salah Sambung GenFM atau Tawaran Ngaco JakFM. Tidak pernah terbayang di benak saya ada prank call yang berujung pada kematian.

Bagaimana dengan Compliance? Cerita di Compliance memang tidak berujung pada kematian. Lebih parah lagi, prank call yang diceritakan di film ini justru berujung pada *uhuk* pelecehan seksual --worse than death, I assume. Film Compliance bercerita tentang telepon dari seorang polisi kepada manajer restoran fast food. Polisi ini mengatakan kepada manajer restoran tersebut bahwa salah seorang pegawainya, seorang gadis (remaja) yang bekerja sebagai kasir, dilaporkan mencuri dompet salah satu pelanggan. Dan ceritanya pun dimulai!

Si Kasir ini pun dipanggil, ditelanjangi (literally), digeledah, dan, setelah berjam-jam menderita, dipaksa melakukan oral sex. Bagaimana mungkin? Justru proses ke arah itu yang membuat Compliance ini menarik untuk ditonton. Walaupun ceritanya terbilang lambat (dan sering membuat saya geregetan), Compliance tetap berhasil menjaga minat saya sampai akhir film.

Compliance, seperti judulnya, memang bercerita tentang kepatuhan; tepatnya kepatuhan yang konyol. Rangkaian peristiwa bodoh dan tragis yang terjadi di dalam film ini terjadi karena adanya sekelompok orang yang patuh terhadap aturan tanpa mau berpikir logis. Sepanjang film ini saya gemas dengan kelakuan-kelakuan yang tidak masuk akal dari karakter-karakternya. Dan yang lebih mengenaskan lagi adalah sebagian besar insiden yang terjadi di dalam film Compliance ini, termasuk insiden oral sex, benar-benar terjadi.

Minggu, 13 Januari 2013

5 Broken Cameras

Sudah lama saya tidak menulis tentang film. Sebenarnya ada beberapa film yang saya rasa layak untuk "dibicarakan" dalam blog, tapi saya kesulitan menemukan waktunya. Sebelumnya saya membahas film di asyafrudin.blogspot.com. Sempat juga saya membahas tentang film di akun Twitter saya: asyafrudin. Kali ini saya memutuskan untuk menuangkan sudut pandang saya sebagai penonton di sebuah blog baru.

**

Saya baru saja menonton film 5 Broken Cameras. Film ini merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan pengalaman hidup Emad Burnat selama bertahun-tahun hidup dalam tekanan Israel di desa Bil'in, Tepi Barat. Film ini diambil dari sudut pandang kamera yang digunakan Emad Burnat dalam meliput setiap peristiwa di desanya. Judul film ini menjelaskan dengan gamblang ada berapa kamera yang terlibat dalam film ini.

Dari sinopsis yang saya baca di situs IMDB, film 5 Broken Cameras ini langsung masuk ke dalam wishlist saya. Hal ini sebenarnya dapat ditebak karena saya sendiri termasuk orang yang menolak penjajahan terselubung yang dilakukan negara Israel. Lewat film ini saya sangat berharap dapat melihat lebih dalam kondisi nyata yang dialami warga negara Palestina.

Harapan saya terkabul dan kenyataannya jauh lebih tidak menyenangkan dari yang saya bayangkan. Di dalam film ini, saya melihat sendiri betapa mengenaskannya nasib orang-orang Palestina yang hidup di perbatasan Palestina-Israel. Bangunan diruntuhkan, tanah diakuisisi, dan kebebasan pun direnggut. Protes-protes yang dilakukan direspon dengan gas air mata dan peluru karet --dan daftar penderitaan mereka pun berlanjut.

Seiring bergulirnya waktu, film ini mulai memperlihatkan siklus tak berujung. Bangunan yang diruntuhkan, tanah yang diakuisisi, dan kebebasan yang direnggut. Hanya saja intensitas dari penindasan yang dilakukan negara Israel semakin tinggi. Alat yang digunakan untuk membubarkan protes semakin canggih, tenaga militer yang terlibat semakin banyak, para penduduk Israel yang hidup di tanah hasil jajahan pun terlihat ikut memperkeruh masalah, dan korban-korban pun semakin banyak --termasuk yang kehilangan nyawanya.

Kalau ada satu hal yang berhasil dilakukan film ini pada diri saya, hal itu adalah meningkatnya empati saya kepada orang-orang Palestina. Memang sulit dipercaya bahwa di dunia yang menjunjung tinggi kemerdekaan ini masih ada penjajahan, tapi hal ini adalah fakta yang dapat dilihat dengan mudah dalam film 5 Broken Cameras ini. Pertanyaannya adalah, "sampai kapan fakta mengenaskan ini akan terus hidup?" Entahlah.