Sabtu, 26 Januari 2013

Hotel Transylvania

Film animasi pertama yang akan saya bahas di blog ini adalah Hotel Transylvania. Film ini sempat masuk wishlist saya karena poster dan trailer-nya memang menggiurkan. Saya menaruh harapan banyak pada film ini karena rasanya memang sudah lama sekali saya tidak menonton film animasi yang memanjakan mata.

Disclaimer (yang sangat terlambat): Setiap ulasan di blog ini kemungkinan besar mengandung spoiler. Continue at your own risk.

Animasi film Hotel Transylvania memang mantap. Paling tidak, animasi yang disajikan di dalam film ini sudah memenuhi standar kepuasan saya. Kualitas animasinya memuaskan dan gambaran karakter-karakternya pun lucu dan menarik. Yang disayangkan adalah "hotel"-nya itu sendiri tidak terlalu diekspos. Sepertinya menarik bila ada adegan yang mengajak kita melihat megahnya Hotel Transylvania di film Hotel Transylvania ini.

Animasi di film ini memang memuaskan, lalu bagaimana dengan plotnya? Tentu saja ba.... Tidak. Ternyata plot film ini tidak lebih dari plot drama remaja pada umumnya. You know, that story when a teenager turns 18 and ready to explore the world when her over-protective father decided to get in her way. Sounds very-very-very familiar, right? Bahkan twist di dalam film ini pun gitu-gitu doang. Bedanya adalah film ini memasukan berbagai varian monster ke dalam ceritanya.

Justru unsur monster ini yang membuat film ini tetap menarik. Walaupun dari sisi plot saya tidak lagi berharap banyak, berbagai kelakuan lucu yang dilakukan monster-monster di Hotel Transylvania ini berhasil mengangkat citra film ini di mata saya. Bahkan ada beberapa kelakar dan adegan lucu yang membuat saya bisa tertawa dengan puas. Those were the most enjoyable moments I had when I'm watching this movie.

Kesimpulan saya adalah film ini adalah film dengan plot yang sangat-super-sederhana. Plotnya begitu sederhana sampai saya dibuat speechless di bagian akhir film; speechless dengan ekpresi muka yang datar tentunya. Bahkan rangkaian adegan penutup, yang menurut saya adalah bagian klimaks dari film ini, justru membuat plot di film ini terkesan "maksa". Pada akhirnya, walaupun saya beri jempol untuk animasinya, film Hotel Transylvania tidak memberikan kesan yang berarti dalam benak saya.

Salam Dracula. Bleh, ble-bleh.

P.S.:
Sangat besar kemungkinannya bahwa tingginya harapan saya pada plot film Hotel Transylvania ini dipengaruhi oleh kesan yang mendalam saat saya menonton film Monsters, Inc.

Sabtu, 19 Januari 2013

Crulic, The Path to Beyond

Film ketiga yang saya bahas di blog ini berjudul Crulic, The Path to Beyond (untuk selanjutnya saya sebut Crulic). Sepertinya halnya 5 Broken Cameras dan Compliance, film yang satu ini pun merupakan film yang tragis dan depressing. Crulic bercerita tentang kehidupan seorang average Romanian yang menjadi korban buruknya sistem penegakan hukum di Polandia.

Selain film tragis dan depressing ketiga yang saya bahas di blog ini, film Crulic ini juga dibuat berdasarkan kisah nyata; sama seperti 5 Broken Cameras dan Compliance. Film Crulic ini bercerita tentang Claudiu Crulic, yaitu saat dia harus mengalami detention selama 3 (tiga) bulan karena dituduh mencuri dompet seseorang (yang sepertinya merupakan orang berpengaruh) di sebuah toko di Polandia.

Sebelum saya lanjutkan, saya sengaja menegaskan penggunaan kata detention. Detention ini berbeda dengan arrest. Bedanya di mana? Silakan googling detention vs arrest lebih lanjut.

Cerita tentang detention Crulic ini sampai diangkat ke layar lebar karena selama 3 (tiga) bulan itu, Crulic memutuskan untuk mogok makan. Alasan dia mogok makan adalah karena dia yakin dia tidak bersalah atas tuduhan mencuri dompet itu. Dia ingin menegaskan kepada semua pihak bahwa dia sudah diperlakukan secara tidak adil oleh sistem penegakan hukum di Polandia.

Di sini mungkin kita bertanya-tanya seberapa tragis nasib Crulic. Crulic yang ditahan di Polandia ini dapat diibaratkan seperti seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita) Indonesia yang dituduh macam-macam di negara Malaysia. Jadi coba bayangkan kondisi emosional kita karena dituduh tanpa dasar yang kuat, ditambah dengan menurunya kondisi fisik karena tidak makan selama 90 hari, dan tidak ada seorang pun yang datang membantu kita. Pahit? Worse than just "pahit". Kondisi ini pun masih terus bertambah parah, tapi akan lebih baik kalau kelanjutan kisah Crulic ini ditonton sendiri.

Perlu saya tegaskan bahwa kehidupan Claudiu Crulic dalam film ini diceritakan dari sudut pandang Crulic sendiri (seperti autobiografi) lewat seorang narator dengan gaya bicara yang penuh sarkasme dan lelucon getir. Dengan begitu, film ini sukses menemukan nuansa "kelam"-nya. Kalaupun ada sisi "terang" dalam film ini, si Narator berhasil membuatnya tetap terlihat getir. Hal lain yang unik dari film ini adalah kombinasi animasi 2D, animasi 3D, dan animasi stop-motion (dengan dasar foto-foto asli) yang rasanya pas dengan nuansa "kelam" di balik tragisnya pengalaman hidup Crulic di film ini.

Selasa, 15 Januari 2013

Compliance

Sebenarnya saya tidak ingin terlalu sering menulis tentang film, karena itu berarti saya harus lebih sering menonton film. Akhir-akhir ini saya sudah berhasil mengendalikan nafsu saya untuk menonton film sehingga saya hanya menonton di akhir pekan. Umumnya saya sempat menonton 1 (satu) film per pekan; atau 2, atau 3, atau .... Anyway, kali ini saya akan menulis tentang Compliance.

**

Saya selalu tertarik untuk menonton film yang inspired by true events. Film-film sejenis ini seolah-olah membawa realita dari dunia lain ke hadapan saya dan pada umumnya mampu memperluas wawasan saya; Compliance ini adalah salah satunya. Tema prank call yang diangkat dalam film ini jelas meningkatkan minat saya untuk menonton.

Tidak lama sebelum saya mengetahui keberadaan film ini, saya sempat membaca berita tentang kematian seorang perawat bernama Jachinta Saldanha --entah bagaimana pengucapan nama ini. Jachinta Saldanha ditemukan meninggal karena bunuh diri dan kematiannya dikaitkan dengan sebuah prank call yang dilakukan oleh penyiar radio --sepertinya mirip program Salah Sambung GenFM atau Tawaran Ngaco JakFM. Tidak pernah terbayang di benak saya ada prank call yang berujung pada kematian.

Bagaimana dengan Compliance? Cerita di Compliance memang tidak berujung pada kematian. Lebih parah lagi, prank call yang diceritakan di film ini justru berujung pada *uhuk* pelecehan seksual --worse than death, I assume. Film Compliance bercerita tentang telepon dari seorang polisi kepada manajer restoran fast food. Polisi ini mengatakan kepada manajer restoran tersebut bahwa salah seorang pegawainya, seorang gadis (remaja) yang bekerja sebagai kasir, dilaporkan mencuri dompet salah satu pelanggan. Dan ceritanya pun dimulai!

Si Kasir ini pun dipanggil, ditelanjangi (literally), digeledah, dan, setelah berjam-jam menderita, dipaksa melakukan oral sex. Bagaimana mungkin? Justru proses ke arah itu yang membuat Compliance ini menarik untuk ditonton. Walaupun ceritanya terbilang lambat (dan sering membuat saya geregetan), Compliance tetap berhasil menjaga minat saya sampai akhir film.

Compliance, seperti judulnya, memang bercerita tentang kepatuhan; tepatnya kepatuhan yang konyol. Rangkaian peristiwa bodoh dan tragis yang terjadi di dalam film ini terjadi karena adanya sekelompok orang yang patuh terhadap aturan tanpa mau berpikir logis. Sepanjang film ini saya gemas dengan kelakuan-kelakuan yang tidak masuk akal dari karakter-karakternya. Dan yang lebih mengenaskan lagi adalah sebagian besar insiden yang terjadi di dalam film Compliance ini, termasuk insiden oral sex, benar-benar terjadi.

Minggu, 13 Januari 2013

5 Broken Cameras

Sudah lama saya tidak menulis tentang film. Sebenarnya ada beberapa film yang saya rasa layak untuk "dibicarakan" dalam blog, tapi saya kesulitan menemukan waktunya. Sebelumnya saya membahas film di asyafrudin.blogspot.com. Sempat juga saya membahas tentang film di akun Twitter saya: asyafrudin. Kali ini saya memutuskan untuk menuangkan sudut pandang saya sebagai penonton di sebuah blog baru.

**

Saya baru saja menonton film 5 Broken Cameras. Film ini merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan pengalaman hidup Emad Burnat selama bertahun-tahun hidup dalam tekanan Israel di desa Bil'in, Tepi Barat. Film ini diambil dari sudut pandang kamera yang digunakan Emad Burnat dalam meliput setiap peristiwa di desanya. Judul film ini menjelaskan dengan gamblang ada berapa kamera yang terlibat dalam film ini.

Dari sinopsis yang saya baca di situs IMDB, film 5 Broken Cameras ini langsung masuk ke dalam wishlist saya. Hal ini sebenarnya dapat ditebak karena saya sendiri termasuk orang yang menolak penjajahan terselubung yang dilakukan negara Israel. Lewat film ini saya sangat berharap dapat melihat lebih dalam kondisi nyata yang dialami warga negara Palestina.

Harapan saya terkabul dan kenyataannya jauh lebih tidak menyenangkan dari yang saya bayangkan. Di dalam film ini, saya melihat sendiri betapa mengenaskannya nasib orang-orang Palestina yang hidup di perbatasan Palestina-Israel. Bangunan diruntuhkan, tanah diakuisisi, dan kebebasan pun direnggut. Protes-protes yang dilakukan direspon dengan gas air mata dan peluru karet --dan daftar penderitaan mereka pun berlanjut.

Seiring bergulirnya waktu, film ini mulai memperlihatkan siklus tak berujung. Bangunan yang diruntuhkan, tanah yang diakuisisi, dan kebebasan yang direnggut. Hanya saja intensitas dari penindasan yang dilakukan negara Israel semakin tinggi. Alat yang digunakan untuk membubarkan protes semakin canggih, tenaga militer yang terlibat semakin banyak, para penduduk Israel yang hidup di tanah hasil jajahan pun terlihat ikut memperkeruh masalah, dan korban-korban pun semakin banyak --termasuk yang kehilangan nyawanya.

Kalau ada satu hal yang berhasil dilakukan film ini pada diri saya, hal itu adalah meningkatnya empati saya kepada orang-orang Palestina. Memang sulit dipercaya bahwa di dunia yang menjunjung tinggi kemerdekaan ini masih ada penjajahan, tapi hal ini adalah fakta yang dapat dilihat dengan mudah dalam film 5 Broken Cameras ini. Pertanyaannya adalah, "sampai kapan fakta mengenaskan ini akan terus hidup?" Entahlah.