Kamis, 18 April 2013

Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives

Pertama kali saya mendengar tentang Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives adalah dari kawan saya, +Pratama Suprayogi. Dari informasi yang saya terima, sutradara film ini adalah penerima penghargaan Palme d'Or pada tahun 2010. Dengan penghargaan sekelas itu, wajar saja kalau orang awam seperti saya berpikir bahwa ada sesuatu yang unik dalam film ini. Pertanyaan besarnya adalah "apa?"

Saya akui memang ada banyak hal menarik dalam film pemenang Palme d'Or ini. Mulai dari kehadiran hantu istri Boonmee yang sudah lama meninggal, anak Boonmee yang tiba-tiba datang kembali dalam wujud menyerupai hewan setelah bertahun-tahun menghilang, dan kenyataan bahwa semua orang yang melihat dua makhluk tersebut dengan begitu mudah menerima kehadiran mereka tanpa basa-basi, semua itu adalah momen-momen mencengangkan yang membuat saya tertarik dengan kelanjutan ceritanya. Suasana mistik memang terasa begitu kental di sepanjang film ini. Ditambah lagi dengan lokasi hutan dan perkampungan, menonton film ini memberikan pengalaman yang begitu akrab bagaikan menonton film Indonesia.

Sayangnya kecepatan film ini benar-benar lambat. Awal ceritanya dimulai dengan lambat, di tengah cerita masih terasa lambat, tapi untungnya di akhir cerita... tetap lambat. Seolah-olah penulis cerita atau sutradara di film ini ingin menikmati setiap detik yang berlalu di dalam film ini. Entah apa tujuannya. Lambatnya pergerakan cerita di dalam film ini sukses membuat saya beberapa kali termenung dan kehilangan fokus saat menonton film ini.

Bukan hanya masalah kecepatan yang membuat saya bosan. Yang membuat saya kehilangan minat saya menonton Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives adalah ceritanya itu sendiri. Cerita di dalam film ini terlalu abstrak bagi saya; benar-benar abstrak. Walaupun secara garis besar saya menganggap tema di film ini menarik, saya lebih sering merasa bingung mengikuti jalan cerita dalam film ini. Sulit bagi saya untuk bisa memahami apa yang tersirat dalam film ini.

Kelihatannya film ini memang bukan sebuah film yang dapat dinikmati oleh kebanyakan orang. Sepertinya film ini lebih mudah dinikmati oleh orang-orang yang memiliki cita rasa artistik yang tinggi; bukan orang awam seperti saya. Alasan saya tetap menonton habis film ini hanya sebatas tuntutan profesi saya sebagai seorang reviewer amatir. Sementara sebagai seorang penggemar film, rasanya saya tidak akan memasukan film ini ke dalam daftar rekomendasi saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.