Jumat, 19 April 2013

The Sessions

Terinspirasi dari sebuah esai berjudul On Seeing A Sex Surrogate, hadirlah sebuah film yang berjudul The Sessions. Sama seperti isi artikel tersebut, film The Sessions ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang penderita penyakit Polio yang ingin mencoba sesuatu yang tidak pernah (berani) dilakukannya selama puluhan tahun hidupnya. Mark, tokoh utama yang menderita penyakit Polio itu, akhirnya memutuskan untuk mencoba melakukan hubungan seks.

Mark, pria penderita penyakit Polio yang hanya bisa terbaring tak berdaya di tempat tidurnya, akhirnya memberanikan diri untuk mencari jalan agar dia bisa berhubungan seks dengan seorang wanita. Dia sadar bahwa kondisi cacatnya akan menghalangi tercapainya keinginan dia. Bukan hanya karena dia tidak bisa bergerak, tapi juga karena besarnya kemungkinan tidak ada satu wanita pun yang mau berhubungan seks dengan dirinya. Dengan bantuan seorang sex surrogate bernama Cheryl, Mark akhirnya berani melangkah maju untuk melepas "keperawanan"-nya.

Tema yang diangkat di dalam film ini tentu saja menarik buat saya. Tidak pernah dalam hidup saya, saya membayangkan ada orang yang mau dibayar untuk melakukan hubungan seks dengan orang tak dikenal, kecuali orang itu adalah seorang pelacur. Saya sempat bertanya-tanya tentang dilema yang dihadapi Cheryl yang bekerja sebagai sex surrogate saat menonton film ini karena dilema ini juga ikut diangkat lewat alur cerita film ini. Hanya saja saya memilih menerima "fakta" bahwa sex surrogate memang sebuah profesi yang legal agar saya dapat lebih menikmati jalan ceritanya.

Terlepas dari itu, fokus utama film ini tetap saja ada pada perjalanan hidup Mark untuk menjadi "lelaki sejati". Dari awal film ini, kita dapat melihat Mark yang berjuang mengalahkan rasa takut yang mengendap di hatinya. Mark harus bisa mengalahkan rasa bersalah yang kerap timbul di hatinya bahkan saat dia sekedar memikirkan untuk bisa berhubungan seks. Mark pun harus bisa menampik semua rasa takut bahwa dirinya akan ditolak oleh para wanita karena tubuhnya yang cacat. Mark harus bisa melewati hambatan-hambatan psikologis tersebut untuk bisa melakukan hubungan seks. Tentu saja semua itu tidak lepas dari peran Cheryl yang mau menerima Mark apa adanya sehingga Mark memiliki rasa percaya diri yang cukup untuk mengabaikan kegagalannya dan terus mencoba melakukan hubungan seks bersama Cheryl. Perjalanan Mark bersama Cheryl ini yang membuat cerita dalam film The Sessions ini menarik untuk diikuti hingga akhir.

Lebih dari itu, film ini pun menampilkan konflik-konflik "sampingan" yang menambah gereget saya untuk menonton, misalnya konflik batin seorang pendeta yang harus memilih antara mendukung Mark atau mempertahankan larangan seks di luar pernikahan. Selain itu diangkat juga masalah keluarga antara Cheryl dan suaminya saat suaminya mulai merasa adanya hubungan istimewa antara Cheryl dan Mark. Semua itu disajikan lewat cerita yang mengundang tawa dan haru. Pada akhirnya sulit bagi saya untuk membantah bahwa The Sessions adalah film istimewa yang penuh pelajaran hidup dan mampu meninggalkan kesan yang mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.